Review film: Interchange (2016)

085192500_1468466730-nicholas

Film kolaborasi indonesia-malaysia ini awalnya menarik minat saya sebab satu hal, ada Nicholas Saputra bermain. Saya sedang memburu film-film dimana ia berperan, melihat ia menunjukkan kemampuan memainkan banyak peran. Lalu ternyata juga main si pemeran Butet Manurung, mbak Prisia Nasution.

Keseluruhan cerita? Banyak jempol dari saya. Tipikal film yang membuat saya duduk anteng dan tidak peduli keadaan sekitar. Kenapa bisa? Film ini menjaga rahasia sampai akhir-akhir adegan!

d6d85c8e1

Cerita film dimulai dengan nyanyian merdu dengan lirik begitu dahsyat di sebuah klub yang langsung menyita perhatian saya, dan sebuah pembunuhan ganjil di tempat sama membuat saya semakin masuk ke dalam. Di sini muncul si tokoh polisi atau mungkin detektif, yang nantinya sering dipanggil Man (Shaheizy Sam), dan dua tokoh yang  dicirikan berperan antagonis, Belian (Nicholas Saputra) dan Sani (Nadiya Nissa).

Pembunuhan tersebut semacam inti dari film, sebuah pembunuhan dengan korban habis disedot darahnya! Siapa yang melakukan, apa motifnya, bagaimana caranya, apa cerita yang melatarbelakanginya, jawabannya saya dapat di sepanjang keseruan film sampai adegan terakhir.

Sesungguhnya beginilah film bekerja, saya dipancing untuk memercayai sebuah situasi yang dibuat sutradara, sehingga untuk setelahnya saya berada dalam kendali alur cerita. Sebuah keadaan yang tidak menyenangkan dan menyenangkan di saat yang bersamaan.

Kemudian dari si detektif Man saya dibawa berkenalan dengan seorang fotografer forensik, yang sedang cuti akibat “sakit.” Namanya Adam (Iedil Putra), ya seperti nama nabi pertama. Adam ini, yang sedang cuti, seolah tetap tidak berhenti untuk berkarya, yaitu dengan memotret aktivitas tetangga-tetangganya di apartemen seberang.

Sebuah kelakuan yang agak creepy tapi tolonglah dimaklumi sebab dengan cara inilah ia akan bertemu dengan si gadis cantik, tokoh baru kita, bernama Iva. Ya kau boleh mengasumsikan itulah nama lokal dari Eve (Prisia Nasution), sebab akan semakin memudahkan si sutradara untuk membuatmu masuk ke bagian cerita cinta.

Bagian fotografi punya andil besar sepanjang film, memuat beberapa aspek pengetahuan tentang foto-memfoto, memamerkan beberapa model kamera dari jaman dulu-dulu sampai sekarang. Adam dan Iva membawa saya menemui sebuah studio foto milik Heng (Chew Kin Wah) dimana mereka meminta bantuan, tentu dengan motif masing-masing.

Film ini jelas memainkan situasi khas detektif, “siapa orang jahatnya?” Apakah duo Belian – Sani? Atau hanya Belian seorang? Atau Si cantik Iva? Atau si forensic “sakit’ ini? Atau bias saja si pemilik studio foto yang berkomplot dengan seseorang jahat.

Ah terlalu banyak kemungkinan. Namun selain kenikmatan menduga-duga, saya juga diberi kenikmatan lain yaitu begitu perlahannya pembeberan fakta-fakta dalam film. Ini amat menyenangkan bagi saya yang tidak pernah membaca review atau menonton trailer sebuah film yang akan ditonton.

Film ini juga berkaitan dengan sebuah suku di Borneo, ya pulau Kalimantan itu. Sebuah suku yang dinyatakan sudah hilang keturunannya. Burung-burung endemik khas daerah Indonesia daerah bagian sana (saya menduga sejenis burung Rangkong) menjadi ikon di film ini.

Setiap scene dengan Adam di dalamnya, entah mengapa saya selalu melihat sinematografi dengan pengambilan gambar ala-ala suasana di Jepang, menyenangkan mata sih sebenarnya. Sinematografinya secara total pun rasanya sempurna. Efek animasinya di atas rata-rata, bagus malah, meski ada sedikit kurang menyatu dengan gambar.

Ini pertama kalinya saya menonton dengan bahasa melayu, selain serial Upin-Ipin, ternyata seru juga! Prisia memainkan dialek melayunya dengan mantap meski Nicsap agak terbata-bata.

Saya berulang kali melirik substitle indonesianya sih, memastikan arti supaya tidak tertukar antara boleh dan bisa, kita dan kami. Maklum pemula, tapi film ini sungguh bikin saya mau nonton film negeri jiran lainnya, sungguh!

15977123_1192771394172764_6649438896560772305_n