Pencuri

Kami bertemu di pemutaran film depan kelurahan pada sebuah akhir bulan september. Aku tidak mengenal dengan baik filmnya, yang sepanjang durasi sepertinya hanya ada dar-der-dor saja. Aku juga tidak banyak mengenali kebanyakan warga yang ikut menonton, ini malam pertama di mana aku memutuskan sedikit membandel, kabur dari rumah. Datang menginap ke rumah teman berbarengan dengan pak RT yang menghimbau warga dari pintu ke pintu. “Mbaknya harus ikut nonton juga lho ya, nanti jam tujuh malam di depan kantor lurah,” dan aku menurut dengan polosnya, diselingi tawa sembunyi Retno. Temanku itu masih tertawa hingga kami masuk kamar. “Kamu sedang sial,” semburnya.

Bisa jadi memang sedang sial, tapi sekaligus sedang mujur. Sebab kami bertemu malam itu. Ia di puncak tiang sebelah kanan sedang mengikat ujung layar putih besar sendirian, dengan sedikit terengah, dan sepertinya akan jatuh bila saja kehilangan sedikit konsentrasi. Bila saja ia menengok ke arahku dan melihat bagaimana seorang gadis menjatuhkan tatap padanya, dengan aneh, seperti sedang melihat sesuatu yang seharusnya belum bisa dilihat.

Kami duduk menonton bersebelahan setelah aku dengan sengaja mengintilnya membeli es limun. Ia pemuda yang berbau badan enak, mendapati tugas memastikan perhelatan menonton bareng warga berjalan baik. Maka matanya seperti selalu sedang melihat ke segala arah, memindai satu dan lainnya. Segala energinya seolah ia salurkan hanya pada bola matanya, sementara organ tubuh lain seperti sedang tidak difungsikan. Mulutnya hanya diam saja sedari tadi. Mengkonfirmasi segala inisiatif obrolanku dengan anggukan lemah. Tangannya masih agak sedikit bertenaga untuk memegang plastik es limun, yang kiri. Sedang yang kanan terlihat lemah, menjuntai ke bawah.

Aku penasaran, bagaimana dengan jantungnya? Masih berdenyut normal atau hanya menyisakan kedip-kedip kecil guna menjaga agar bola matanya tidak mati? Hidungnya sepertinya bernafas, meski kuat dugaanku bahwa udara sendirilah yang memaksa masuk ke lubangnya tanpa mesti ia berusaha menghirup. Aku mengamatinya lekat-lekat namun ia sama sekali tidak menaruh peduli. Seperti aku bukan bagian dari acara ini. Sebuah faktor luar yang tiba-tiba saja ada, dan sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengganggu. Ini justru yang sedikit menggangguku. Boleh kupinjam gunting dan memotong serampangan rambutnya supaya ia menoleh?

Kupikir meski rambutnya dipotong, ia akan segera tumbuh kembali kurang dari dua menit. Sudah sampai seperti inilah aku menganggap anehnya dia. Mungkin sedikit istimewa. Aku tidak tahu bagaimana menyatakannya. Kenyataan bahwa kami duduk di atas batang pohon yang baru ditebang saja sudah membuatku merasa ia tengah mengambil sejumlah energi dari batang ini, menyedotnya perlahan, menggabungkannya dengan sejumlah energi dari seruputan es limun, guna menyalakan kehidupannya sendiri. Ah aku sudah gila, baru saja sehari minggat dari orangtua!

Kami harus menyudahi bersebelahan ini sebab tiba-tiba pantulan film di layar besar memutih semua. Hingga ia segera berdiri, menyebarkan kembali tenaganya ke semua otot yang bisa membuat seorang manusia bergerak. Menitipkan es limunnya yang hampir tandas di tanganku, dan bibirnya semacam bergerak.

“Seharusnya kita belum bisa bertemu.”

Dan ia bergegas. Dan ia lupa kembali, untuk es limunnya yang sudah tidak lagi dingin.

……….

 

Kami kembali bertemu di kotaku. Ia sedang kehujanan di tengah jalan. Atau ia memang tengah main hujan-hujanan. Masuk ke minimarket dengan lebih dulu mengibas-ibas rambutnya di depan pintu. Aku tertawa melihat dari balik pintu. Ia menambahkan senyum yang memang sedari tadi sudah ada sebelum ia menyadari keberadaanku, selagi ia berlari seolah sedang main dengan hujan. Ia menyalamiku, di tangan, hal yang tidak pernah dilakukan lelaki manapun di kota ini bila bertemu perempuan sebaya, kecuali sapaan hai, dan halo, dan gelagat menggoda.

Ia melarikan dirinya ke mesin pendingin, mengambil sebuah botol dengan cairan berwarna hijau limun, yang kukira memang es limun yang dibotolkan. Membayar di kasir, dan menghampiriku di luar, sedang mengusahakan sebuah payung tua agar lekas terbuka. Dan belum juga terlihat akan bisa terbuka, sampai ia menawariku untuk berjalan bareng dalam hujan menuju halte bis sebelah tempat ia memarkirkan motornya, yang kupikir ia memang gila kenapa tidak membawa sekalian motornya ke sini. Ia hanya membalas dengan kalimat, “motorku tidak bisa tahan dengan hujan, sebaliknya aku bisa.” Dan aku menyerah dengan kelogisan pola pikirnya, membalas dengan tertawa dan mengiyakan ajakannya. Aku sedang berjalan berdua dalam rangkaian hujan dengan orang gila, padahal baru saja sembuh dari flu tiga hari lalu.

Yang kusangkakan padanya waktu dulu sepertinya memang benar, ia mengambil energi kehidupan dari segala sesuatu yang mungkin bisa ia ambil, atau lebih tepat, ia curi. Kali ini dari hujan. Aku merasa tiap tetes hujan awalnya memiliki semangat sejak  turun dari langit untuk kemudian habis dan lelah ketika menyentuh badannya, dan mengalir tidak bertenaga mengikuti lekuk tubuhnya. Bersatu dengan tetes hujan lain yang kebetulan mendarat berdekatan untuk segera menghimpun tenaga sisa sekedar mengalir turun menjauh dari pemuda ini. Tubuh pemuda yang kembali kulihat lekat dan kembali lagi ia tidak menggubrisku, apalagi sejak kami tiba di halte.

Mungkin ia sengaja memberi waktu untukku mengobservasi, siapa kiranya pemuda nyeleneh ini. Memang banyak yang belum kuketahui dan belum kusadari. Seperti lengannya, yang baru kusadari di tengah hujan dalam teduhan halte. Lengannya yang memang sepertinya jarang ia tutupi dengan kaos panjang. Lengannya, yang kiri, seperti nampak konstelasi sebuah rasi bintang. Dengan titik-titiknya tentu saja tahilalat berjumlah lumayan untuk bisa membuatku memikirkan gambar imajiner apa yang mungkin bila kutarik garis demi garis di antaranya. Sepertinya bisa kugambar dua buah perahu. Bisa juga matahari dengan sebuah sayap kembar kotak.

“Boleh aku menggambari lenganmu?” dan ia menjawab dengan menaruh telapaknya di atas kepalaku. Mengacak-acaknya. Sekaligus mencuri sesuatu.

“Payungku sudah bisa kubuka, apakah aku harus menemanimu dulu hingga hujan reda?” dan ia menjawab dengan menurunkan tinggi badannya supaya kepala kami sejajar. Melihat ke dalam bola mataku. Sekaligus menaruh sesuatu.

“Kapan kita bisa bertemu lagi? Sampai hari apa kamu akan berada di kota ini?” dan ia menjawab dengan menyiulkan semacam lagu untuk mengganggu bingar deras hujan. Menyenangkan telingaku. Sekaligus merapalkan sesuatu.

“Eh, siapa namamu?” dan ia menjawab dengan memberi genggaman tangan. Menelusuri biku jariku. Sekaligus menyimpankan sesuatu.

Hujan mulai reda. Ia bergegas memanaskan kembali motornya. Berteriak ketika sudah menduduki jok.

“Nanti kita bakal bertemu lebih banyak lagi!”

Dan membiarkan deru motornya menghilang semakin lama. Dan membiarkan punggungnya menyamar semakin jauh.

……….

 

Kami bertemu lagi, untuk urutan ke limabelas kalinya, dalam kencan yang semakin terlihat sungguhan. Sekarang ia terlihat lebih seperti manusia biasa dengan kadar bicara yang semakin normal. Bahkan hampir kelewat batas. Seperti selama ini ia puasa bicara dan kini ia bebas dari ritualnya. Mengomentari apa saja yang terlewat di depan mata kami. Menertawakannya seolah kami berdua dua mahluk yang baru saja tiba di dunia aneh. Dunia yang agak mengecewakan namun mau tidak mau kami harus berhasil mengatasinya, dengan selalu berdua.

Sore itu kami masih saja berkeliaran di rumah gaya kolonial dengan banyak jendela. Mencoba menghitung satu persatu jumlahnya dalam ingatan, dan hasilnya akan kami beberkan usai pertemuan. Terik dan angin terlalu kencang saat itu, memaksa semua daun jendela yang setengah terbuka berderit-derit, dibarengi senyumnya yang muncul tiap kali bunyi deritan terlalu kencang. Aku masih suka menatapinya dengan lekat, dan ia tahu itu. Membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah. Kami seolah merupa angin pula, yang membukakan tiap jendela, tiap pintu, tiap gerbang, tiap apapun yang punya niat menutup.

“Apakah kali ini kamu tengah mencuri energi kehidupan dari angin?” aku bertanya langsung pada telinganya. Dan ia terkekeh. Mengatakan aku terlalu sering membiarkan kepalaku dipenuhi khayal-khayal. Ia memperagakan mimik muka orang yang tengah menyedot angin hingga pipi menggelembung. Lekas menutup rapat mulutnya. Kemudian menenggak angin seakan ia kopi hangat dalam cangkir pada pertemuan ke delapan lalu. Lalu ia, masih dengan memperagakan, berdiri tiba-tiba bagai mendapat asupan tenaga berlebih untuk segera berlari dari jendela ke jendela. Menghilang pada jendela ke enam belas dari posisiku berdiri.

Ia masih belum dapat kutemukan lagi meski sekarang sudah memasuki musim hujan panjang. Kejadian di rumah banyak jendela terjadi pada musim kemarau pendek, dua musim di belakang. Kudatangi kembali rumah Retno, berpura-pura aku merindukan rumah dan masakan ibunya. Kuhampiri kantor lurah, bertanya ke sekitar perihal seorang pemuda berlengan rasi bintang yang memasang layar besar sendirian pada acara tahun lalu. Tidak ada yang mau memberi tahu atau sekedar menganggapi. Seolah tidak elok bila seorang gadis menanyakan kabar pemuda yang menghilang dengan sendiri.

……….

 

Aku mencoba menghubungi diriku yang lama, yang kusembunyikan sebelum ia datang. Dengan mencoba memberi waktu lebih untuk menulis. Kupikir dengan menulis, aku mampu merunutkan kembali hal yang sudah-sudah, merangkainya dalam skema yang lebih jernih, meski hidup selalu menyamarkan hal di antara kami. Sudah beberapa musim lewat sejak awal pencarian, dan belum kutemukan apa-apa tentang dirinya. Apa aku sibuk mencari keluar dan lupa mencari ke dalam diri sendiri? Mungkin ia khusyuk bersembunyi di dalam diriku. Sebab kehabisan tenaga dan mulai kehilangan kemampuannya mencuri energi dari kehidupan. Ia menjelma benalu dan mengecilkan diri, memasuki tubuhku melalui jendela pori-pori kulit.

Kepalaku sekarang penuh dengan pemisalan setelah hari sebelumnya kubaca sebuah legenda kuno mengenai seorang anak yang memiliki sayap dan berniat menghampiri matahari, untuk habis terbakar setelahnya. Tentunya ia bukan pemuda bersayap. Sudah pernah kupastikan itu saat kutelusuri lengannya hingga ke punggung, bahu, juga dadanya. Tidak pernah ada jejak keanehan di tubuhnya.

Tetapi bagaimana bila ia berniat mencuri energi dari matahari, suatu bentuk kehidupan dengan jumlah energi paling masif, setelah ia menemukan sebuah jendela dari 678 jendela rumah itu yang mengarah langsung pada bola bundar bulat bercahaya merah menyala di langit. Lalu ia tergoda dan terbersit di pikirannya, bahwa ia hanya perlu mencuri sekali lagi saja untuk bisa hidup selama yang ia maui.

Entah ia sekarang mungkin malah telah habis terbakar.

Atau mampu berhasil mencuri dan menemukan rumah baru di sisi matahari.

Dan aku harusnya bahagia dengan kedua kemungkinan itu.

 

*cerpen ini terinspirasi dari penampilan Stars and Rabbit dalam lagunya “Man Upon the Hill”

 

Tinggalkan komentar